Jumat, 04 Desember 2015

Pelajaran Dihari Arafah


Khutbah Pertama

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ
Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar. Allahu akbar walillahil hamd. (artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, segala puji bagi-Nya).
Hari Arafah adalah hari yang paling utama. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, “Hari ‘Arafah lebih utama dari 10.000 hari.”’Atha’ berkata, “Barangsiapa berpuasa pada hari ‘Arafah, maka ia mendapatkan pahala seperti berpuasa 2000 hari.” Hari Arafah disebut sebagian versi sebagai hari haji akbar.
Ada keistimewaan dari hari Arafah tersebut yang bisa kita ambil pelajaran di dalamnya.

1- Di hari Arafah ada amalan puasa

Dalam hadits dari Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
Puasa Arafah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyura (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)
Pelajarannya, kita bisa tahu ada amalan yang bisa menghapus dosa. Amalan seperti inilah yang mesti kita kejar dan raih, apalagi bagi diri yang terus berbuat dosa tak henti-hentinya.
Mengenai pengampunan dosa dari puasa Arafah, para ulama berselisih pendapat. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dosa kecil. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika bukan dosa kecil yang diampuni, moga dosa besar yang diperingan. Jika tidak, moga ditinggikan derajat.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51).
Semoga amalan puasa Arafah yang kita lakukan kemarin mendapatkan ampunan dosa dari Allah Ta’ala.

2- Di hari Arafah ada doa yang mustajab

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah.” (HR. Tirmidzi no. 3585. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan (Lihat Tuhfah Al-Ahwadzi, 10: 33).
Amalan doa mengajarkan untuk memanfaatkan moment untuk berdoa. Seperti kita diperintahkan untuk memanfaatkan waktu di bawah ini untuk berdo’a.
  • Waktu sahur, waktu menjelang shubuh karena ketika itu Allah turun ke langit dunia untuk mengabulkan do’a.
  • Waktu di hari Jum’at: bisa jadi saat duduk imam di antara dua khutbah, bisa jadi pula ba’da Ashar sampai tenggelam matahari.
  • Bulan Ramadhan yang penuh berkah.
  • Do’a antara adzan dan iqamah.
  • Do’a selesai shalat lima waktu: bisa jadi setelah salam (ba’da dzikir), bisa jadi di akhir tahiyat sebelum salam.
Semua waktu di atas adalah waktu ijabahnya do’a. Manfaatkanlah, moga Allah perkenankan setiap doa-doa kita.

3- Dari shubuh hari Arafah hingga Ashar hari ke-13 Dzulhijjah ada anjuran memperbanyak takbir sehabis shalat

Al-Qadhi Abu Syuja’ berkata, “Berkaitan dengan Idul Adha, setiap selesai shalat lima waktu mulai dari waktu Shubuh hari Arafah hingga waktu Ashar di hari tasyriq (13 Dzulhijjah) diperintahkan untuk bertakbir.” (At-Tadzhib fi Adillati Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, hal. 82). Ada riwayat dari perbuatan ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum tentang anjuran ini.
Dari Muhammad bin Abi Bakr Ats-Tsaqafi, ia berkata, “Aku pernah bertanya mengenai talbiyah pada Anas dan kami sedang berpagi-pagi menuju Arafah, “Bagaimana kalian melakukannya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Anas menjawab, “Ada yang bertalbiyah ketika itu dan tidak ada yang mengingkari. Lalu ada pula yang bertakbir dan tidak ada yang mengingkarinya.” (HR. Bukhari no. 970)
Dalam Shahih Bukhari disebutkan, “Bab ‘Takbir di hari-hari Mina (hari tasyriq) dan ketika pergi berpagi-pagi ke Arafah’. ‘Umar mengumandangkan takbir di Mina di tendanya lantas orang-orang yang berada di masjid mendengarnya. Mereka yang di masjid bertakbir hingga orang-orang yang berada di pasar ikut-ikutan bertakbir. Sampai bergemalah suara takbir di Mina. Ibnu ‘Umar bertakbir pula di Mina pada hari-hari tasyriq dan dilakukan selepas shalat. Beliau bertakbir di tempat tidur, di majelis dan di jalan-jalan, mereka bertakbir di seluruh hari yang ada. Maimunah juga bertakbir di hari Idul Adha (hari nahr). Dahulu para wanita pun ikut bertakbir di belakang Aban bin ‘Utsman dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz di malam-malam tasyriq bersama para pria di masjid.”
Dalam salah satu kitab fikih Syafi’i disebutkan, “Disunnahkan mengeraskan suara saat takbir bagi laki-laki, tidak bagi perempuan. Takbir yang dikumandangkan pada waktunya lebih utama dari dzikir lainnya karena takbir adalah syiar pada hari Idul Adha.” (Kifayah Al-Akhyar, hlm. 201)
Pelajaran dari anjuran takbir ini adalah kita diperintakan untuk mengagungkan Allah dengan tidak berbuat syirik kepada-Nya dan benar-benar mentauhidkannya. Berarti, tawakkal dan setiap amalan hati hanya untuk Allah. Sembelihan dan setiap amalan lahiriyah hanya untuk Allah.

4- Hari Arafah adalah hari disempurnakan agama

Dalam shahihain (Bukhari-Muslim), ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa ada seorang Yahudi berkata kepada ‘Umar,
آيَةٌ فِى كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لاَتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا . قَالَ أَىُّ آيَةٍ قَالَ ( الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا ) . قَالَ عُمَرُ قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِى نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عل      يه وسلم – وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ
“Ada ayat dalam kitab kalian yang kalian membacanya dan seandainya ayat tersebut turun di tengah-tengah orang Yahudi, tentu kami akan menjadikannya sebagai hari perayaan (hari ‘ied).” “Ayat apakah itu?” tanya ‘Umar. Ia berkata, “(Ayat yang artinya): Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” ‘Umar berkata, “Kami telah mengetahui hal itu yaitu hari dan tempat di mana ayat tersebut diturunkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berdiri di ‘Arafah pada hari Jum’at.” (HR. Bukhari no. 45 dan Muslim no. 3017)
Hal ini menunjukkan kita diperintah untuk menjauhi amalan yang tidak ada tuntunan, tidak menambah atau membuat-buat ajaran baru yang tidak dicontohkan.

5- Dari kain ihram berwarna putih di padang Arafah

Hal itu mengajarkan pada kita untuk mengingat akan kematian. Karena kain kafan berasal dari kain berwarna putih. Kematian tersebut pasti kita akan mendapatinya.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ
Pakailah oleh kalian pakaian yang putih karena itu termasuk pakaian yang paling baik. Dan berilah kafan pada orang mati di antara kalian dengan kain warna putih.” (HR. Abu Daud no. 4061, Tirmidzi no. 994 dan Ibnu Majah no. 3566. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَسُوا الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ
Kenakanlah pakaian warna putih karena pakaian tersebut lebih bersih dan paling baik. Kafanilah pula orang yang mati di antara kalian dengan kain putih.” (HR. Tirmidzi no. 2810 dan Ibnu Majah no. 3567. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

6- Dari kain ihram yang sama antara kaya dan miskin di padang Arafah

Menunjukkan bahwa kita sama di sisi Allah karena kain ihram kita sama, pembedanya adalah takwa. Dalam ayat disebutkan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كَرُمَ الدُّنْيَا الغِنَى، وَكَرُمَ الآخِرَةُ التَّقْوَى
“Mulianya seseorang di dunia dengan kekayaannya. Namun mulianya seseorang di akhirat dengan ketakwaannya.” Demikian dinukil dalam Tafsir Al-Baghawi. (Ma’alim At-Tanzil, 7: 348)

7- Dari bersatunya umat di hari Arafah saat wukuf di padang Arafah

Itu menunjukkan ajakan untuk bersatu walau berbeda kulit, suku, etnis dan negara, bahkan walau berbeda Ormas. Kebersamaan tetap jelas lebih menyenangkan. Berhari raya pun lebih menyenangkan bersama dan di bawah pemerintah yang sah. Bukan mementingkan ego dan kelompok.
Dalam hadits disebutkan,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari raya Idul Fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul Adha.” (HR. Tirmidzi no. 697. Hadits ini shahih kata Syaikh Al-Albani).
Sebagian ulama menafsirkan hadits tersebut bahwa yang dimaksudkan adalah berpuasa dan berhari raya dengan al jama’ah (pemerintah) dan kaum muslimin. (Majmu’ah Al-Fatawa, 25: 115)
Apalagi pemerintah sudah menempuh jalan yang benar dengan menjadikan patokan pada rukyatul hilal. Dari sini saja, pemerintah lebih baik diikuti karena mereka mengikuti dalil yang shahih secara sanad dan makna.
Demikian tujuh pelajaran berharga dari hari Arafah. Fa’tabiru yaa ulil albaab.
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه
اَللَّهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar. Allahu akbar walillahil hamd. (artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, segala puji bagi-Nya).
Hadits yang tadi menunjukkan berpuasa dan berhari raya dengan pemerintah, ada maksud penting yang dijelaskan oleh para ulama.
Disebutkan dalam Hasyiyah As-Sindi ‘ala Ibnu Majah, “Hadits tersebut bermakna bahwa perkara penetapan puasa (atau hari raya) bukan urusan individu atau perorangan namun urusan penguasa dan al jama’ah (pemerintah). Wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemerintah mereka. Oleh karenanya jika ada yang melihat hilal lantas pemerintah menolak persaksiannya, maka tidak bisa pendapatnya dipakai dan wajib baginya mengikuti pemerintah kaum muslimin.”
Kalau ada yang mengatakan, bagaimana jika pemerintah itu salah? Cukup dijawab dengan hadits Abu Hurairah berikut, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُصَلُّونَ لَكُمْ ، فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ ، وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
Jika shalat para imam itu benar, maka pahalanya bagi mereka dan untuk kalian. Jika shalat mereka salah, kalian dapat pahala dan mereka dapat dosa.” (HR. Bukhari no. 694).
Ingatlah, taat pada pemerintah kita adalah jalan menuju surga. Dari Abu Umamah Shuday bin ‘Ajlan Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah saat haji wada’ dan mengucapkan,
اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ
Bertakwalah pada Allah Rabb kalian, laksanakanlah shalat limat waktu, berpuasalah di bulan Ramadhan, tunaikanlah zakat dari harta kalian, taatilah penguasa yang mengatur urusan kalian, maka kalian akan memasuki surga Rabb kalian.” (HR. Tirmidzi no. 616 dan Ahmad 5: 262. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini).

Sumber : https://rumaysho.com

0 komentar:

Posting Komentar