Bagaimana hukum memakai cincin batu akik? Apakah boleh ataukah haram dan dihukumi syirik?
Asal Pakai Cincin itu Boleh
Hal ini berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَتَبَ
 النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – كِتَابًا – أَوْ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ
 – فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُمْ لاَ يَقْرَءُونَ كِتَابًا إِلاَّ مَخْتُومًا . 
فَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ نَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ . 
كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis atau ingin 
menulis. Ada yang mengatakan padanya, mereka tidak membaca kitab kecuali
 dicap. Kemudian beliau mengambil cincin dari perak yang terukir nama 
‘Muhammad Rasulullah’. Seakan-akan saya melihat putihnya tangan beliau.” (HR. Bukhari no. 65 dan Muslim no. 2092)
Baca selengkapnya: Cincin Perak Bagi Pria.
Keyakinan pada Batu Akik
Kalau batu akik dipakai sebagai hiasan di jari saja tak jadi masalah 
besar. Yang jadi masalah adalah jika diyakini sebagai batu akik tersebut
 sebagai penglaris, pengasihan, pelindung diri, pencegah penyakit, dan 
keyakinan lainnya yang tak terbukti ilmiahnya.
Berdasarkan keterangan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram
 (15: 217), ada tiga sebab yaitu bisa jadi terbukti secara syar’i (ada 
dalil), bisa jadi terbukti secara eksperimen, yang ketiga itu tidak 
terbukti secara syar’i dan eksperimen. Itu sebab jenis ketiga ini 
termasuk kesyirikan menurut beliau.
Jika ada yang memakai batu cincin akik lebih dari sekedar dipakai, 
yaitu punya keyakinan tambahan seperti batu akik dianggap sebagai 
penglaris dagangan, sebagaian pengasihan, diyakini sebagai pencegah dan 
penyembuh penyakit tanpa ada bukti ilmiah, berarti termasuk dalam 
kesyirikan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ
 سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
 قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ 
اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ
 هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ 
يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang 
menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. 
Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru 
selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu,
 atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat 
menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya-lah
 bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Az Zumar: 38)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah –penulis Fathul Majid–
 berkata, “Ayat ini dan semisalnya adalah dalil yang menunjukkan tidak 
bolehnya menggantungkan hati kepada selain Allah ketika ingin meraih 
manfaat atau menolak bahaya. Ketergantungan hati kepada selain Allah 
dalam hal itu termasuk kesyirikan.“ (Fathul Majid, 127-128). Sama halnya ketergantungan hati (tawakkal) hati pada benda seperti batu akik.
Dari ‘Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّ
 النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً 
أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ « وَيْحَكَ مَا هَذِهِ ». قَالَ مِنَ 
الْوَاهِنَةِ قَالَ « أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْناً 
انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِىَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ 
أَبَداً
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat di lengan 
seorang pria terdapat gelang yang dinampakkan padanya. Pria tersebut 
berkata bahwa gelang itu terbuat dari kuningan. Lalu beliau berkata, “Untuk apa engkau memakainya?” Pria tadi menjawab, “(Ini dipasang untuk mencegah dari) wahinah (penyakit yang ada di lengan atas).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Gelang
 tadi malah membuatmu semakin lemah. Buanglah! Seandainya engkau mati 
dalam keadaan masih mengenakan gelang tersebut, engkau tidak akan 
beruntung selamanya.” (HR. Ahmad 4: 445 dan Ibnu Majah no. 3531)[1].
Dalam Tafsir Ibnu Abi Hatim (43: 179), dari Hudzaifah, di 
mana ia pernah melihat seseorang memakai benang untuk mencegah demam, 
kemudian ia memotongnya. Lantas Hudzaifah membacakan firman Allah Ta’ala,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, 
melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan 
lain).” (QS. Yusuf: 106)
Begitu pula Waki’ pernah meriwayatkan dari Hudzaifah. Beliau pernah 
mengunjungi orang sakit. Lantas beliau melihat-lihat di lengan atas 
orang sakit tersebut dan mendapati benang. Hudzaifah pun bertanya, “Apa 
ini?” “Ini adalah sesuatu yang bisa menjagaku dari rasa sakit tersebut”,
 jawab orang sakit tadi. Lantas Hudzaifah pun memotong benang tadi. 
Lantas Hudzaifah berkata, “Seandainya engkau mati dalam keadaan engkau 
masih mengenakan benang ini, aku tidak akan menyolatkanmu” (Fathul Majid, 132).
Lihatlah bagaimana sikap keras para sahabat bagi orang yang 
mengenakan jimat untuk melindungi dirinya dari sakit, dalam rangka 
meraih maslahat. Jimat tersebut sampai dipotong, walau tidak diizinkan. 
Dalam penjelesan di atas menunjukkan bahwa seseorang bisa berdalil 
dengan ayat yang menjelaskan tentang syirik akbar (besar) untuk maksud 
menjelaskan syirik ashgor (kecil) karena kedua-duanya sama-sama syirik 
(Lihat Fathul Majid, 132).
Kesimpulannya, memakai batu akik asalnya boleh 
selama tidak ada keyakinan syirik di dalamnya. Yang jadi masalah adalah 
jika diyakini sebagai batu akik tersebut sebagai penglaris, pengasihan, 
pelindung diri, pencegah penyakit, dan keyakinan lainnya yang tak 
terbukti ilmiahnya.
Adapun hadits-hadits yang membicarakan keutamaan batu akik, mendatangkan manfaat dan khasiat tertentu, kebaikan demikian dan demikian adalah hadits-hadits yang tidak shahih yang tidak bisa dijadikan argumen.
Sumber : Rumaysho.Com 







0 komentar:
Posting Komentar