Larangan-larangannya sepenuh keikhlasan menyelaksai. Maka sungguh 
indah. Antara sabda dan lelakunya tak pernah saling menyelisihi. Pun 
perintah dan larangannya tak pernah ada saling menyalahi. Maka adalah 
indah Islam agama yang mengajarkan kasih sayang, diturunkan oleh Dzat 
Yang Mahakasih dan sayang, diwahyukan melalui malaikat
 yang penuh kasih dan sayang, dan disampaikan untuk disebarkan kepada 
sekalian alam oleh nabi yang penuh kasih dan sayang. Sungguh indah agama
 yang dituntunkan oleh Dzat Yang Mahaindah lagi mencintai keindahan.
Karenanya, Islam hadir di tengah-tengah ummat bukan untuk 
membelenggu. Ia hadir demi memperindah tatanan. Yang rusak, ia perbaiki.
 Yang salah, ia betulkan. Yang bengkok, ia luruskan. Yang jelek, ia 
baguskan. Yang bodoh, ia pintarkan. Yang baik, ia ajarkan. Yang merusak,
 ia larangkan dan seterusnya. Islam hadir demi kasih sayang untuk 
sekalian alam.
Maka adalah wajar, jika sang pengemban risalah penuh kasih dan sayang
 kepada ummatnya. Sebab, ia adalah cermin tempat berkaca bagi 
kebengkokan-kebengkokan perilaku mereka. Sebab, ia adalah pelita yang 
membimbing bagi kegelapan-kegelapan hati mereka. Sebab, ia adalah 
penentram yang mengarahkan bagi kegalauan-kegalauan jiwa mereka. Dan 
sebab ia adalah qudwatun hasanah, sang panutan lagi teladan bagi kehidupan mereka.
Memang indah. Ia yang tersurat sebagai penuntun ummatnya demi 
kehidupan yang lebih baik, di dunia dan akhirat, benar-benar menjadi 
contoh yang sempurna dalam setiap sisi kehidupannya. Maka adalah 
keserasian yang ia ajarkan. Maka adalah kelembutan yang ia tularkan. 
Maka adalah keadilan yang ia sebarkan. Maka adalah kemuliaan hidup yang 
ia tawarkan. Maka adalah rahmatan lil alamin yang ia simpulkan, di tengah ummat.
Dan betul-betul indah ternyata ia benar-benar rahmatan lil alamin.
 Ajaran-ajarannya penuh sejuta hikmah. Wejangan-wejangannya tak pernah 
meninggalkan bekas lara di dada. Anjuran-anjurannya selalu menyimpul 
ulang semangat yang membaja. Nasehat-nasehatnya selalu tepat mengenai 
titik sasarannya, dan tanpa sedikitpun menyinggung amarah si empunya. 
Keadilan dalam berkata dan kejujuran dalam bersikap itulah pedomannya.
Maka lihatlah manusia-manusia di sekitarnya. Tak pernah ada yang terciderai rasa. Tak ada pula yang pernah tersinggung kata. Semua ia tunaikan hak-haknya. Tak ada pembedaan. Tak juga pengistemewaan. Kecuali pada hal yang sudah digariskan, yaitu ketaqwaan. Maka yang bangsawan tak tersanjungkan di hadapannya. Yang rakyat biasa saja juga tak terpinggirkan di majelisnya. Semua sama. Pun kaya dan miskin, tak ada beda. Masing-masing ia tunaikan hak-haknya, dengan perlakuan yang semesti dan sepantasnya.
Sang Nabi memang penuh kasih sayang kepada semuanya. Tapi, kepada 
wanita ia lebih lemah lembut daripada yang lainnya sebab ia tahu kunci 
kelemahannya. Dan tersebab itu ia pun bersabda kepada kita, selaku 
ummatnya, dalam riwayat Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi, “Wanita itu
 tercipta dari  tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok adalah 
atasnya. Jika terlalu keras meluruskannya engkau akan mematahkannya. Dan
 jika engkau membiarkannya, ia akan tetap bengkok. Maka, berhati-hatilah
 memperlakukannya.”
Karenanya, ia tak pernah membentak kaum hawa. Sebab itu hanya akan 
mematahkannya saja. Tak pula ia terlalu memanjakannya. Karena ini hanya 
akan melenakannya semata. Seperti kisah turunnya surat Al-Ahzab ayat 28 
dan 29. Ketika istri-istrinya meminta tambahan nafkah, dan berhasil 
membuat dirinya resah bercampur amarah. Tapi tetap saja tak ada 
kata-kata amukan yang tertumpah. Tak ada dampratan. Tak pula bentakan.
Atau seperti kisah Fatimah yang datang kepadanya meminta seorang 
pembantu rumah tangga. Meskipun yang hadir adalah putri kesayangannya, 
namun tetap saja tak ada pemanjaan yang berlebihan. Tak ia kabulkan 
keinginannya. Dan tak ia berikan apa yang dimauinya. Justru ia tawarkan 
apa yang lebih baik dari yang diminta, bahkan lebih baik dari dunia dan 
seisinya. Maka ia nasehatkan agar bertasbih, bertahmid, dan bertakbir 
tiga puluh tiga kali sebelum beranjak tidur sebagai gantinya.
Maka betul-betul indah ketika shahabat-shahabatnya beramai-ramai 
meniti setiap garis jejaknya. Seperti kisah Al-Faruq, ‘Umar bin 
Al-Khattab, yang tengah naik mimbar dan mengkritisi perihal tingginya 
mahar yang diminta kaum hawa. Maka berdirilah seorang dari mereka 
menyela dengan suara tegasnya. “Apakah engkau hendak membatasi sesuatu 
yang Allah sendiri pun tak pernah membatasinya dalam kitab suciNya?” 
begitu ujarnya.
Maka para hadirin terhenyak tak menyangka. Ternyata ada wanita yang sebegitu. Pun juga ‘Umar tak kalah kagetnya. Namun, tetap saja ada kasih sayang harus diberikannya, seperti panutannya yang begitu lemah lembut. Maka tak ada bentakan. Tak juga dampratan. Dan tak pula kata makian dasar wanita pembangkang. Maka adalah ‘Umar menjawabnya dengan penuh kelembutan, “Engkau benar wahai saudariku. Akulah yang salah!”
Maka para hadirin terhenyak tak menyangka. Ternyata ada wanita yang sebegitu. Pun juga ‘Umar tak kalah kagetnya. Namun, tetap saja ada kasih sayang harus diberikannya, seperti panutannya yang begitu lemah lembut. Maka tak ada bentakan. Tak juga dampratan. Dan tak pula kata makian dasar wanita pembangkang. Maka adalah ‘Umar menjawabnya dengan penuh kelembutan, “Engkau benar wahai saudariku. Akulah yang salah!”
Subhanallah. Sungguh keluhuran budi yang terbungkus dalam 
beningnya hati nurani. Maka terlahirlah keharmonisan, terjelmalah 
kemesraan, dan terpadulah kesetiaan dan pengorbanan. Islam itu memang 
indah.
Toh begitu tetap ada sisi lain yang harus dicermati. Ada potensi lain yang musti diwaspadai. Agar tak berakhir tragis bak ummat-ummat terdahulu. Seperti kisah bani Israil yang tak sanggup mewaspadainya. Maka dimusnahkanlah tujuh puluh ribu pasukan dari mereka dalam sekejap saja. Maka sang pengemban risalah terakhir pun lekas-lekas mewanti-wanita kita, dengan bahasa kasih sayangnya yang teramat besar kepada ummatnya.
Toh begitu tetap ada sisi lain yang harus dicermati. Ada potensi lain yang musti diwaspadai. Agar tak berakhir tragis bak ummat-ummat terdahulu. Seperti kisah bani Israil yang tak sanggup mewaspadainya. Maka dimusnahkanlah tujuh puluh ribu pasukan dari mereka dalam sekejap saja. Maka sang pengemban risalah terakhir pun lekas-lekas mewanti-wanita kita, dengan bahasa kasih sayangnya yang teramat besar kepada ummatnya.
“Adalah dunia ini,” sabda beliau di sela-sela khutbahnya, “Sungguh 
indah nan mempesona tampak di mata. Dan Allah menyerahkan pemakmurannya 
kepada kalian; sebab Ia ingin menguji bagaimana amal-amal kalian. Karena
 itu, berhati-hatilah dari dunia, dan berhati-hatilah terhadap wanita.”
“Sebab,” lanjut beliau dalam riwayat Imam Muslim, “Musibah pertama 
yang menimpa Bani Israil adalah karena wanita.” “Maka,” pungkas beliau 
dalam riwayat Imam An-Nasa’i, “Tak ada musibah yang lebih berbahaya 
sepeninggalku melebihi wanita.”
Indah benar. Dua kutub yang saling berjauhan dipadukan dalam satu 
sulaman. Ia yang diwanti dan diwaspadai ternyata juga begitu disayangi. 
Maka ia pun tak terkekang hak asasinya. Dan tak jua terumbar 
kebebasannya. Ia dijaga tapi tetap dihargai. Juga dikaryakan sembari 
terus diawasi.
Maka lihatlah bentuk konkritnya pada sebarik kisah-kisah mengagumkan.
 Pada keteladanan agung kehidupan para salaf yang mulia. Pada ketakjuban
 akhlak tinggi mereka, pada keindahan pribadi yang tersiram dari mata 
air yang suci, pada kelembutan yang tersinari dari pelita yang 
menerangi, Sang Nabi yang begitu terpuji. Maka tak ada penelikungan atas
 nama wanita. Tak ada pengekangan atas hak-haknya sebagai manusia. Tak 
ada penodaan atas fitrah manusiawinya. Apatah lagi kezaliman pada 
kesucian dirinya. Ia benar-benar dijaga, tapi tetap dihormati. 
Betul-betul indah, seindah keagungan akhlak Sang Nabi yang begitu 
memukau jagad raya. Subhanallah. Lalu kita?
Sungguh, jauh panggang dari api. Ya, kita selaku ummatnya hanya bisa 
merenungi sambil mengintrospeksi diri: pada tutur kata kita, pada 
tingkah laku kita, pada kebeningan hati kita, dan pada kepandiran jiwa 
kita; sudah layakkah kita menjadi ummatnya? Lalu kita selaksai makna 
yang terkandung di dalamnya; sudah pantaskah kita, yang berikrar ke sana
 ke mari sebagai yang paling nyunnah, betul-betul menjadi pengikutnya? 
Setiap kita, saya dan anda, tentu lebih mengetahui apa jawaban pastinya.
 Sebab, masing-masing kita adalah yang paling tahu siapa diri kita yang 
sebenarnya.
Maka, marilah kita menyelaksai makna, sambil terus menyelam di lautan
 ilmu, pada keteladanan agung nan indah itu. Untuk kemudian di sana kita
 belajar pada pengalaman-pengalaman hidup mereka yang syahdu. Lalu, 
ianya kita jadikan asas kebermaknaan dalam setiap langkah kita menuju 
kemuliaan. Setelah itu, langkah-langkah tersebut kita jadikan neraca 
acuan bagi jejak-jejak kaki kita meniti jalan perubahan.
Sumber : https://muslim.or.id






0 komentar:
Posting Komentar