Pernikahan merupakan suatu akad untuk menghalalkan hubungan antara
laki-laki dan perempuandalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup
berkeuarga yang diridloi oleh Allah SWT. Dari pengertian itu dapat kita
ketahui bawasanya untuk menciptakan kehidupan keluarga yang bahagi,
kemudoian menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan,
membangun rumah tangga yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Dalam agama islam sudah jelas mana pernikahan yang dilarang dan mana yang diperbolehkan. Adapun yang dimaksud pernikahan yang dilarang yakni bentuk-bentuk perkawinan yang tidak boleh dilakukan seperti kawin Mut’ah, kawi Syighor dan lain-lain. Bentuk perkawinan tersebut merupakan bawaan yang berasal dari zaman jahiliyah yang mana pada zaman ini orang=orang bagaikan binatang yang memiliki rinsip siapa kuat dialah yang berkuasa.
Adapun pernikahan yang diperbolehkan yaitu pernikahan yang sesauai dengan syari’atseperti ada kedua mempelai, saksi dan wali serta mahar dan apabila salah sayu diantara syarat-syarat terssebut tidak dipenuhi maka pernikahannya tidak sah atau batal.
Dalam agama islam sudah jelas mana pernikahan yang dilarang dan mana yang diperbolehkan. Adapun yang dimaksud pernikahan yang dilarang yakni bentuk-bentuk perkawinan yang tidak boleh dilakukan seperti kawin Mut’ah, kawi Syighor dan lain-lain. Bentuk perkawinan tersebut merupakan bawaan yang berasal dari zaman jahiliyah yang mana pada zaman ini orang=orang bagaikan binatang yang memiliki rinsip siapa kuat dialah yang berkuasa.
Adapun pernikahan yang diperbolehkan yaitu pernikahan yang sesauai dengan syari’atseperti ada kedua mempelai, saksi dan wali serta mahar dan apabila salah sayu diantara syarat-syarat terssebut tidak dipenuhi maka pernikahannya tidak sah atau batal.
Pengertian Pernikahan
Secara bahasa nikah berarti mengumpulkan, sedangkan menurut istilah yaitu akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban. Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai suatu jalan untuk menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainya.
Secara bahasa nikah berarti mengumpulkan, sedangkan menurut istilah yaitu akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban. Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai suatu jalan untuk menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainya.
Dasar Hukum Pernikahan
Pernikahan dapat menjaga kehormatan diri dan pasangan agar tidak terjerumus kedalam hal-hal yang diharamkan. Juga berfungsi untuk menjaga komunitas manusia dari kepunahan, dengan terus melahirkan dan mempunyai keturunan.
Dasar hukum pernikahan pada dasarnya adalah jaiz (diperbolehkan). Namun dari segi diminta dikerjakan atau tidak, maka menurut para ahli dalam fiqh bergantung pada keadaan masing-masing orang :
Pernikahan dapat menjaga kehormatan diri dan pasangan agar tidak terjerumus kedalam hal-hal yang diharamkan. Juga berfungsi untuk menjaga komunitas manusia dari kepunahan, dengan terus melahirkan dan mempunyai keturunan.
Dasar hukum pernikahan pada dasarnya adalah jaiz (diperbolehkan). Namun dari segi diminta dikerjakan atau tidak, maka menurut para ahli dalam fiqh bergantung pada keadaan masing-masing orang :
a. Wajib: menurut kebanyakan para ulama
fiqh, hukum pernikahan adalah wajib, jika seseorang yakin akan jatuh
kedalam perzinaan seandainya tidak menikah, sedangkan ia mampu untuk
memberikan nafkah kepada isterinya berupa mahar dan nafkah batin serta
hak-hak pernikahan lainnya. Ia juga tidak mampu menjaga dirinya untuk
terjatuh kedalam perbuatan hina dengan cara berpuasa dan lainnya.
b. Haram: nikah diharamkan jika seseorang
yakin akan menzalimi dan membahayakan istrinya jika menihak, seperti
dalam keadaan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pernikahan, atau
tidak bisa berbuat adil diantara istri-istrinya. Karena segala sesuat
yang menyebabkan terjerumus kedalam keharaman hukumnya juga haram.
c. Makruh: pernikahan dimakruhkan jika
seseorang khawatir terjatuh pada dosa dan mara bahaya. Menurut para
ulama syafi’i, menikah makruh hukumnya bagi orang yang memiliki
kelemahan, seperti tua renta, penyakit abadi, kesusahan yang
berkepanjangan.
d. Sunah: menurut jumhur ulama selain imam syafi’i, nikah disunahkan jika seseorang dalam kondisi stabil.
Syarat dan Rukun Nikah
Syarat nikah itu adalah hal yang menjadi penentu keberadaan sesuatu, dan ia berada diluar hakikat sesuatu tersebut. Syarat sah nikah ada 10 (sepuluh) macam:
Syarat nikah itu adalah hal yang menjadi penentu keberadaan sesuatu, dan ia berada diluar hakikat sesuatu tersebut. Syarat sah nikah ada 10 (sepuluh) macam:
1. Objek cabang
2. Mengekalkan sighat akad
3. Persaksian
4. Ridha dan ikhtiyar (memilih)
5. Menentukan pasangan
6. Tidak sedang ihram haji dan umrah
7. Harus dengan mahar
8. Tidak bersepakat untuk saling merahasiakan
9. Hendaknya salah satu atau keduanya tidak sedang mengidap penyakit yang mengkhawatirkan
10. Wali
2. Mengekalkan sighat akad
3. Persaksian
4. Ridha dan ikhtiyar (memilih)
5. Menentukan pasangan
6. Tidak sedang ihram haji dan umrah
7. Harus dengan mahar
8. Tidak bersepakat untuk saling merahasiakan
9. Hendaknya salah satu atau keduanya tidak sedang mengidap penyakit yang mengkhawatirkan
10. Wali
Rukun ialah hal yang hukum syar’i tidak
mungkin ada melainkan dengannya. Menurut jumhur ulama adalah hal yang
menyebabkan berdiri dan keberadaan sesuatu. Sesuatu tersebut tidak akan
terwujud melainkan dengannya. Atau dengan kata lain hal yang harus ada.
Menurut jumhur ulama ada 4 (empat) rukun nikah. Yaitu:
1. Sighat (ijab dan qabul)
2. Istri
3. Suami
4. Wali
2. Istri
3. Suami
4. Wali
Wanita-wanita yang Haram Dinikahi
Dalam syarat pernikahan kita telah mengetahui bahwa bagi mempelai perempuan di syaratkan tidak mempunyai hubungan mahram dengan orang laki-laki yang ingin dia nikahi. Ada dua jenis perempuan yang haram untuk dinikahi. Jenis yang pertama pengharamannya bersifat abadi, sedangkan jenis yang kedua pengharamannya bersifat sementara.
Ada dua puluh jenis perempuan yang haram untuk dinikahi selamanya. Yang berdasarkan hubungan nasab ada tujuh orang, yaitu: ibu, anak perempuan, bibi dari pihak ibu, saudara perempuan, bibi dari pihak bapak, anak permpuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan, dan para perempuan yang memiliki posisi yang sama dengan ketujuh orang perempuan ini akibat hubungan sesusuan.
Sedangkan yang berdasarkan hubungan perbesanan ada empat, yaitu: ibu mertua, saudara perempuan istri, istri bapak, dan istri anak. Juga para perempuan yang posisinya sama dengan keempat perempuan ini akibat hubungan susuan.
Sedangkan perempuan yang haram dinikahi dalam jangka waktu sementara berjumlah dua puluh tiga orang, yaitu: perempuan yang telah murtad, perempuan non muslimah yang bukan golongan dari ahli kitab, istri yang kelima, perempuan yang tengah bereda dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, perempuan yang tengah berada dalam masa iddah, perempuan yang tengah menjalani masa istibraa’ (pembersihan rahim), perempuan yang tengah hamil, istri yang ditalak tiga, budak permpuan milik bersama, budak perempuan yang kafir, budak perempuan muslimah yang menemukannya dalam jangka waktu yang lama, budak perempuan milik anak laki-laki dan budak permpuan milik dirinya sendiri, tuannya yang permpuan, ibu tuannya, perempuan yang tengah melakukan ihram haji, perempuan yang sakit, saudara perempuan istrinya, bibi istrinya dari pihak ibu, bibi istrinya dari pihak bapak, maka dia tidak boleh memadu istrinya dengan bibinya.
Hikmah pengharaman terhadap perempuan yang mempunyai hubungan nasab ialah mendirikan sistem keluarga yang berlandaskan rasa sayang dan cinta yang murni, yang tidak dikotori oleh kepentingan. Dengan adanya pengharaman tersebut, terputuslah rasa tamak dan terwujudlah persatuan dan pergaulan yang murni. Dengan menikahi dari salah seorang tersebut (nasab) akan menyebabkan terputusnya hubungan silaturahmi akibat adanya pertengkaran dan perselisihan yang biasanya terjadi antara pasangan suami-istri. Disamping itu juga membuat lemah keturunan. Berbeda dengan pernikahan dengan perempuan yang memiliki hubungan yang jauh, yang dapat melahirkan keturunan yang kuat, sebagaimana yang telah dibuktikan secara medis dan syariat. Dalam sebuah atsar disebutkan
Dalam syarat pernikahan kita telah mengetahui bahwa bagi mempelai perempuan di syaratkan tidak mempunyai hubungan mahram dengan orang laki-laki yang ingin dia nikahi. Ada dua jenis perempuan yang haram untuk dinikahi. Jenis yang pertama pengharamannya bersifat abadi, sedangkan jenis yang kedua pengharamannya bersifat sementara.
Ada dua puluh jenis perempuan yang haram untuk dinikahi selamanya. Yang berdasarkan hubungan nasab ada tujuh orang, yaitu: ibu, anak perempuan, bibi dari pihak ibu, saudara perempuan, bibi dari pihak bapak, anak permpuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan, dan para perempuan yang memiliki posisi yang sama dengan ketujuh orang perempuan ini akibat hubungan sesusuan.
Sedangkan yang berdasarkan hubungan perbesanan ada empat, yaitu: ibu mertua, saudara perempuan istri, istri bapak, dan istri anak. Juga para perempuan yang posisinya sama dengan keempat perempuan ini akibat hubungan susuan.
Sedangkan perempuan yang haram dinikahi dalam jangka waktu sementara berjumlah dua puluh tiga orang, yaitu: perempuan yang telah murtad, perempuan non muslimah yang bukan golongan dari ahli kitab, istri yang kelima, perempuan yang tengah bereda dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, perempuan yang tengah berada dalam masa iddah, perempuan yang tengah menjalani masa istibraa’ (pembersihan rahim), perempuan yang tengah hamil, istri yang ditalak tiga, budak permpuan milik bersama, budak perempuan yang kafir, budak perempuan muslimah yang menemukannya dalam jangka waktu yang lama, budak perempuan milik anak laki-laki dan budak permpuan milik dirinya sendiri, tuannya yang permpuan, ibu tuannya, perempuan yang tengah melakukan ihram haji, perempuan yang sakit, saudara perempuan istrinya, bibi istrinya dari pihak ibu, bibi istrinya dari pihak bapak, maka dia tidak boleh memadu istrinya dengan bibinya.
Hikmah pengharaman terhadap perempuan yang mempunyai hubungan nasab ialah mendirikan sistem keluarga yang berlandaskan rasa sayang dan cinta yang murni, yang tidak dikotori oleh kepentingan. Dengan adanya pengharaman tersebut, terputuslah rasa tamak dan terwujudlah persatuan dan pergaulan yang murni. Dengan menikahi dari salah seorang tersebut (nasab) akan menyebabkan terputusnya hubungan silaturahmi akibat adanya pertengkaran dan perselisihan yang biasanya terjadi antara pasangan suami-istri. Disamping itu juga membuat lemah keturunan. Berbeda dengan pernikahan dengan perempuan yang memiliki hubungan yang jauh, yang dapat melahirkan keturunan yang kuat, sebagaimana yang telah dibuktikan secara medis dan syariat. Dalam sebuah atsar disebutkan
E. Pernikahan yang Dilarang Dalam Islam
1. Nikah Mut’ah
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewariri antara keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu.
Dalam kitab minhajul muslimin halaman 437 disebutkan ” Nikah mut’ah adalah nikah yang dilakukan sampai batas waktu tertentubaik masa itu lama ataupun sebentar, seperti laki-laki menikahi perempuan pada masa tertentu seperti satu bulan atau satu tahun.”
Sesungguhnya Rosulullah melarang nikah mut’ah dan daging himar pada masa perang khoiba
1. Nikah Mut’ah
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewariri antara keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu.
Dalam kitab minhajul muslimin halaman 437 disebutkan ” Nikah mut’ah adalah nikah yang dilakukan sampai batas waktu tertentubaik masa itu lama ataupun sebentar, seperti laki-laki menikahi perempuan pada masa tertentu seperti satu bulan atau satu tahun.”
Sesungguhnya Rosulullah melarang nikah mut’ah dan daging himar pada masa perang khoiba
2. Nikah Syighor
Menurut bahasa Assyighor berarti mengangkat. Seolah-olah seorang laki-laki berkata “ janganlah engkau angkat kaki anakku perempuan sebelum aku juga mengangkat kaki anak perempuanmu.
Definisi nikah ini juga sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu”
Menurut bahasa Assyighor berarti mengangkat. Seolah-olah seorang laki-laki berkata “ janganlah engkau angkat kaki anakku perempuan sebelum aku juga mengangkat kaki anak perempuanmu.
Definisi nikah ini juga sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu”
3. Nikah Tahlil
Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai. Dikatakan muhallil karena ia dianggap membuat halal lagi bekas suami yang dulu agar bisa mengawini bekas istrinya yang sudah ditalak bain.
Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil ) dan muhallala lahu )
Menurut Imam Syafi’I perkawinan ini sama saja dengan nikah mut’ah karena seolah-olah wali siperempuan yang dinikahkan berkata kepada calon suaminya “ku nikahkahan engkau dengannya dengan syarat setelah engkau melakukan hubungan seksual engkau harus menceraikannya“. Berarti ada batasan waktu dalam perkawinan ini, untuk itu hukumnya tidak diperbolehkan.
Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai. Dikatakan muhallil karena ia dianggap membuat halal lagi bekas suami yang dulu agar bisa mengawini bekas istrinya yang sudah ditalak bain.
Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil ) dan muhallala lahu )
Menurut Imam Syafi’I perkawinan ini sama saja dengan nikah mut’ah karena seolah-olah wali siperempuan yang dinikahkan berkata kepada calon suaminya “ku nikahkahan engkau dengannya dengan syarat setelah engkau melakukan hubungan seksual engkau harus menceraikannya“. Berarti ada batasan waktu dalam perkawinan ini, untuk itu hukumnya tidak diperbolehkan.
4. Nikah Badal
Artinya pernikahan dengan saling tukar-menukar istri, misalnya seorang yang telah beristri menukarkan istrinya dengan istri orang lain dengan menambah sesuatu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Artinya pernikahan dengan saling tukar-menukar istri, misalnya seorang yang telah beristri menukarkan istrinya dengan istri orang lain dengan menambah sesuatu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
5. Nikah Istibdlo’
Yakni pernikahan yang dilakukan oleh seorang wanita yang sudah bersuami dengan laki-laki lain dengan tujuan untuk mendapatkan benih keturunan dari laki-laki tersebut, setelah diketahui jelas kehamilannya maka diambil kembali oleh suaminya yang pertama.
Yakni pernikahan yang dilakukan oleh seorang wanita yang sudah bersuami dengan laki-laki lain dengan tujuan untuk mendapatkan benih keturunan dari laki-laki tersebut, setelah diketahui jelas kehamilannya maka diambil kembali oleh suaminya yang pertama.
6. Nikah Righoth
Yakni pernikahan yang dilakukan beberapa laki-laki secara bergantian menyetubuhi wanita, setelah wanita tersebut hamil dan melahirkan wanita tersebut menunjuk salah satu diantara laki-laki yang menyetubuhinya untuk berlaku sebagai bapak dari anak yang dilahirkan, kemudian antara keduanya berlaku kehidupan sebagai suami istri.
Yakni pernikahan yang dilakukan beberapa laki-laki secara bergantian menyetubuhi wanita, setelah wanita tersebut hamil dan melahirkan wanita tersebut menunjuk salah satu diantara laki-laki yang menyetubuhinya untuk berlaku sebagai bapak dari anak yang dilahirkan, kemudian antara keduanya berlaku kehidupan sebagai suami istri.
7. Nikah Baghoya
Yaitu pernuikahan yang ditandai dengan adanya hubungan seksual dengan beberapa wanita tuna susila dengan beberapa laki-laki tuna susila. Setelah terjadi kehamilan diantara wanita tersebut maka dipanggillah seorang dokter untuk menentukan satu diantara laki-laki tersebut sebagai bapaknya berdasarkan tingkat kemiripan antara anak dengan laki-laki yang menghamili.
Yaitu pernuikahan yang ditandai dengan adanya hubungan seksual dengan beberapa wanita tuna susila dengan beberapa laki-laki tuna susila. Setelah terjadi kehamilan diantara wanita tersebut maka dipanggillah seorang dokter untuk menentukan satu diantara laki-laki tersebut sebagai bapaknya berdasarkan tingkat kemiripan antara anak dengan laki-laki yang menghamili.
8. Nikah dengan wanita pezina
Berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Artinya : Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.”
Berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Artinya : Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.”
9. Nikah saat melakukan Ihrom
Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar”
Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar”
10. Nikah dengan istri yang ditalak tiga
Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya “ Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya “ Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
11. Nikah dengan wanita yang senasab atau ada hubungan kekeluargaan
12. Nikah dengan wanita yang masih bersuami
Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya “ Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami…” [An-Nisaa’ : 24]
Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya “ Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami…” [An-Nisaa’ : 24]
13. Nikah dengan lebih dari empat orang
Berdasarkan firman Allah Ta’ala “ Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat…” [An-Nisaa’ : 3]
Berdasarkan firman Allah Ta’ala “ Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat…” [An-Nisaa’ : 3]
Sumber : https://siswady.wordpress.com
Assalamualaikum ustad, izin link SHARE ustad www.WisataQolbu.Faith
BalasHapusAssalamualaikum ustad, izin link SHARE ustad www.WisataQolbu.Faith
BalasHapus