Ramadhan itu mengajarkan akhlak yang mulia. Di bulan yang mulia
tersebut kita diajarkan untuk tidak melakukan perbuatan tercela seperti
dusta dan banyak mencela.
Saat berpuasa wajib meninggalkan dusta sebagaimana disebutkan dalam hadits,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah
mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia
tahan.” (HR. Bukhari no. 1903). Lihatlah bagaimana akibat dusta dalam puasa, seseorang tidak mendapatkan apa-apa.
Di antara akhlak yang wajib ditinggalkan lagi adalah suka mencela
atau menghina orang lain. Lihatlah bagaimana ancaman dalam ayat,
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (QS. Al-Humazah: 1). Kata Ibnu ‘Abbas adalah mencela dan menjelekkan. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7: 650). Sedangkan ‘wail’
dalam ayat bisa berarti ancaman celaka atau bisa berarti nama lembah di
neraka. Ini menunjukkan bahaya bagi orang yang banyak mencela saat
berpuasa.
Termasuk dalam mencela adalah mencela saudaranya yang telah bertaubat
dari dosa. Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
“Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 2505. Syaikh Al-Albani berkata bahwa hadits ini maudhu’). Imam Ahmad menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dosa yang telah ditaubati.
Dalam Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَكُلُّ
مَعْصِيَةٍ عُيِّرَتْ بِهَا أَخَاكَ فَهِيَ إِلَيْكَ يَحْتَمِلُ أَنْ
يُرِيْدَ بِهِ أَنَّهَا صَائِرَةٌ إِلَيْكَ وَلاَ بُدَّ أَنْ تَعْمَلَهَا
“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan
kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa
tersebut.” (Madarijus Salikin, 1: 176)
Hadits di atas bukan maknanya adalah dilarang mengingkari
kemungkaran. Ta’yir (menjelek-jelekkan) yang disebutkan dalam hadits
berbeda dengan mengingkari kemungkaran. Karena menjelek-jelekkan
mengandung kesombongan (meremehkan orang lain) dan merasa diri telah
bersih dari dosa. Sedangkan mengingkari kemungkaran dilakukan lillahi
Ta’ala, ikhlas karena Allah, bukan karena kesombongan. Lihat Al-‘Urf Asy-Syadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi oleh Muhammad Anwar Syah Ibnu Mu’azhom Syah Al-Kasymiri.
Intinya, secara umum, puasa mengajarkan akhlak yang mulia. Jangan
sampai puasa kita jadi sia-sia karena sikap atau tingkah laku kita yang
jelek pada orang lain.
Secara umum di setiap waktu, Islam mengajarkan kita akhlak yang mulia. Dari Abu Ad-Darda’, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ شَىْءٍ أَثْقَلُ فِى الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ
“Tidaklah sesuatu yang lebih berat di timbangan selain akhlak yang mulia.” (HR. Abu Daud no. 4799 dan Tirmidzi no. 2003. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Sumber : l Rumaysho.Com
0 komentar:
Posting Komentar