Selasa, 01 Desember 2015

Kedudukan Shalat Dalam Syariah Islam

Shalat menurut bahasa adalah doa kebaikan sebagaimana firman Allah Ta’ala (artinya): “Ambillah dari sebagian harta mereka sebagai sedekah yang membersihkan dan mensucikan mereka serta shalatlah atas mereka.” [At- Taubah 103]. Makna lafazh “shalatlah” yaitu “doakanlah kebaikan”. Demikian pula firman Allah Ta’ala (artinya): “Sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalat atas nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalatlah dan salamlah atas nabi tersebut.” [Al Ahzaab 56]. Lafazh “bershalatlah” yaitu “berdoalah kebaikan”.
Sedangkan menurut syariat shalat adalah peribadatan kepada Allah Ta’ala dalam bentuk ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. [Lihat Asy Syarhul Mumti’ 2/5].
Shalat sebenarnya telah diperintahkan Allah kepada umat terdahulu sebelum umat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Wahai Bani Isra’il ingatlah nikmat yang telah Aku berikan kepada kalian …… tegakkanlah shalat, keluarkanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” [Al Baqarah 40-43].
Allah juga berfirman (artinya), “Dan tidaklah mereka (ahlul kitab dan musyrikin) diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah semata, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Demikianlah agama yang lurus.” [Al Bayyinah 5].
Kedudukan Shalat
1. Shalat sebagai sebab seseorang ditolong oleh Allah. Hal ini karena Allah sendiri berfirman (artinya), “ Wahai orang-orang yang beriman mintalah pertolongan kepada Allah dengan kesabaran dan shalat” [Al Baqarah 153]. Shalat bila ditunaikan sebagaimana mestinya niscaya akan menyebabkan seseorang ditolong oleh Allah dalam setiap urusannya.
2. Shalat merupakan sebab seseorang tercegah dari kekejian dan kemungkaran. Allah berfirman (artinya), “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan kemungkaran.” [Al Ankabuut 45]. Jika shalat dikerjakan dengan semestinya pasti akan mencegah pelakunya dari kekejian dan kemungkaran dengan ijin Allah.
3. Shalat merupakan salah satu rukun islam. [H.R Al bukhari 8 dan Muslim 16].
4. Shalat merupakan amalan yang pertama kali dihisab/ dihitung di hari kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya), “Sesungguhnya amalan seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka ia akan beruntung dan selamat. Namun bila shalatnya jelek maka ia akan merugi dan celaka..” [H.R At Tirmidzi 413 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani]. Yang dimaksud shalat merupakan amalan pertama kali yang dihisab di hari kiamat adalah shalat wajib, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang lain (artinya), “Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari seorang muslim pada hari kiamat adalah shalat wajib…” [H.R ibnu Majah 1425 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani]. Telah dimaklumi bahwa shalat yang diwajibkan kepada kita adalah shalat 5 waktu (Zhuhur, ‘Ashr, Maghib, Isya’ dan Subuh). Demikian pula shalat Jum’at bagi pria. Inilah yang disepakati seluruh ulama.
5. Keutamaan shalat dapat dilihat dari awal perintah untuk mengerjakannya yaitu diperintahkan langsung kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tanpa melalui perantara Jibril “alaihis Salaam, di tempat yang tertinggi yang pernah dicapai manusia yaitu langit ketujuh, di malam yang paling utama bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam yaitu malam Isra’ Mi’raj dan diwajibkan di setiap hari sepanjang hidup seorang muslim.
Hukum Orang Yang Mengingkari Kewajiban Shalat
Barangsiapa mengingkari kewajiban shalat 5 waktu dan shalat Jum’at maka ia kafir/ murtad. Hal ini disebabkan ia mendustakan Allah, rasulNya dan kesepakatan kaum muslimin yang qath’i (tetap). Contoh mengingkari kewajiban shalat tersebut adalah menganggap bahwa shalat itu sekedar kebiasaan, sesuatu yang boleh atau tidak mengapa diinggalkan dan bila dikerjakan berpahala, atau ragu tentang kewajibannya. Orang yang di hatinya terdapat pengingkaran atau keraguan terhadap kewajiban shalat 5 waktu dan shalat jum’at maka ia kafir/ murtad sekalipun ia masih mengerjakan shalat. Lalu mungkinkah seseorang mengerjakan shalat dalam keadaan mengingkari atau meragukan kewajibannya? Jawabnya: Mungkin, misal seseorang mengerjakan shalat karena hanya menganggap shalat itu sekedar kebiasaan baik, hanya sekedar sunnah atau takut dicela orang bila tidak mengerjakan shalat. Kalimat syahadat seseorang bisa batal apabila setelah mengucapkan kalimat itu ia mengingkari atau meragukan kewajiban shalat. Demikian pula sebanyak apapun syahadat yang dia ucapkan maka hal itu tidak bermanfaat sama sekali tatkala ia masih mengingkari atau meragukan kewajiban shalat.
Namun satu hal yang penting untuk kita pahami bahwa vonis pengkafiran atau seseorang dianggap murtad (keluar dari Islam) karena mengingkari atau meragukan kewajiban shalat- demikian pula perkara wajib yang lain- itu bersifat umum. Adapun bila bersifat khusus- artinya vonis terhadap individu tertentu- maka terlebih dahulu harus menempuh ketentuan-ketentuan yang disebutkan para ulama dan di bawah bimbingan mereka. Wallahu a’lam.
Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat
Sub judul ini dibagi menjadi 3 poin yaitu”
1. Apabila seseorang meninggalkan satu shalat saja misal Zhuhur tanpa ada udzur syar’i (alasan yang dibenarkan syari’at) maka ia melakukan dosa besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “ …. dan janganlah engkau meninggalkan shalat wajib dengan sengaja. Barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib dengan sengaja maka telah lepas jaminan (dari Allah) untuk orang tersebut…” [HR Ibnu Majah 4034 dan dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani]. Orang yang meninggalkan satu shalat tanpa udzur yang syar;i dinyatakan sebagai orang yang melkukan dosa besar meskipun masih meyakini kewajibannya. Faktor yang mendorong dirinya meninggalkan shalat adalah rasa malas, bukan pengingkaran atau keraguan. Apabila yang mendorong dirinya meninggalkan shalat adalah pengingkaran/ keraguan maka ia tidak sekedar melakukan dosa besar bahkan ia telah kafir/ murtad sebagimana yang telah lewat pembahasannya.
2. Bila seseorang kadangkala meninggalkan shalat dan kadangkala mengerjakannya maka yang nampak –wallahu a’lam- ia tidak kafir/ murtad namun tetap dinyatakan orang yang berbuat dosa besar/ orang fasik. [Lihat penjelasan Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa beliau 11/54, dinukil dari Fatawa Ulama’ Baladil Haram hal 671].
3. Bila seseorang senantiasa meninggalkan shalat maka ia kafir/ murtad, karena tidaklah mungkin seseorang yang berakal dan di hatinya ada keimanan –walaupun sebesar biji sawi sekalipun- akan meninggalkan shalat terus menerus, padahal ia tahu tentang kedudukan shalat dalam agama Islam. Sehingga, terus menerus atau senantiasanya seseorang meninggalkan shalat sudah merupakan tanda pengingkaran atau keraguan dia terhadap kewajiban shalat. Namun vonis pengkafiran aatau seseorang dianggap murtad di sini masih bersifat umum. Adapun bila bersifat khusus (vonis terhadap individu tertentu) maka terlebih dahulu harus menempuh ketentuan- ketentuan yang disebutkan para ulama dan di bawah bimbingan mereka. Wallahu a’lamu bish shawaab.
Kewajiban Bertaubat Bagi Orang Yang Mengingkari Atau Meninggalkan Kewajiban Shalat
Allah Ta’ala berfirman (artinya):
“ Maka datanglah sesudah mereka (para nabi), pengganti (yang jelek) yang menyia- nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang- orang yang bertaubat, beriman, dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk Al Jannah (surga) dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun.” [Maryam 59-60]
Kewajiban Menyampaikan Nasehat Yang Baik Kepada Orang Yang Mengingkari Dan Meninggalkan Kewajiban Shalat.
Asy Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata: “…dan dari atas masing- masing dua keadaan tadi (orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dan orang yang mengingkari kewajibannya -pen) maka wajib bagi pemerintah kaum muslimin untuk meminta orang yang meninggalkan shalat untuk bertaubat. Bila tidak bertaubat maka orang tersebut dibunuh karena adanya dalil- dalil yang teriwayatkan tentang hal itu. Wajib untuk mengisolasir orang yang meninggalkan shalat, memboikotnya, tidak memenuhi undangannya sampai ia bertaubat kepada Allah. Bersamaan dengan itu, waib pula untuk menasehatinya, mengajaknya kepada kebenaran dan mengingatkan dari dampak yang timbul bagi orang yang meninggalkan shalat baik dampak di dunia maupun di akherat. Semoga (dengan itu -pen) ia bertaubat dan Allah menerima taubatnya.” [Kitab Ad Da’wah 1/ 93, dinukil dari Fatawa Ulama’ Baladil Haram hal.665].
Kita Dituntut Untuk Menegakkan Shalat Bukan Sekedar Mengerjakan Shalat
Bila seseorang telah mengerjakan shalat maka belumlah dianggap cukup. Dia masih dituntut untuk menegakkannya. Jika ia sekedar menggerakkan anggota badannya untuk berdiri, takbir, membaca doa- doa shalat, ruku’, sujud, duduk tanpa diiringi kekhusyu’an, thuma’ninah dan memahami maksud gerakan dan doa- doa shalat maka ia teranggap sebagai orang yang sekedar mengerjakan shalat. Dia masih dituntut untuk khusyu’’ thuma’ninah dan memahami maksud gerak dan doa- doa shalat. Dengan itu ia dinilai sebagai orang yang menegakkan shalat.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (artinya) :
“Sungguh beruntunglah orang- orang yang beriman, (Yaitu) orang- orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” [Al Mu’minuun 1-2].
Ayat ini mengandung tuntutan untuk kita khusyu’ di dalam shalat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya):
“Sesungguhnya seseorang mengerjakan shalat selama 60 tahun. Namun shalatnya tidak diterima. Dia menyempurnakan ruku’nya tapi tidak mmenyempurnakan sujudnya. Dia menyempurnakan sujudnya namun tidak menyempurnakan ruku’nya.” [Ash Shahihah 2535].


Sumber :https://assunnahmadiun.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar