Shalat menurut bahasa adalah doa kebaikan sebagaimana firman Allah
Ta’ala (artinya): “Ambillah dari sebagian harta mereka sebagai sedekah
yang membersihkan dan mensucikan mereka serta shalatlah atas mereka.”
[At- Taubah 103]. Makna lafazh “shalatlah” yaitu “doakanlah kebaikan”.
Demikian pula firman Allah Ta’ala (artinya): “Sesungguhnya Allah dan
para malaikat bershalat atas nabi. Wahai orang-orang yang beriman
bershalatlah dan salamlah atas nabi tersebut.” [Al Ahzaab 56]. Lafazh
“bershalatlah” yaitu “berdoalah kebaikan”.
Sedangkan menurut syariat shalat adalah peribadatan kepada Allah Ta’ala
dalam bentuk ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir
dan diakhiri dengan salam. [Lihat Asy Syarhul Mumti’ 2/5].
Shalat sebenarnya telah diperintahkan Allah kepada umat terdahulu
sebelum umat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Allah Ta’ala
berfirman (artinya), “Wahai Bani Isra’il ingatlah nikmat yang telah Aku
berikan kepada kalian …… tegakkanlah shalat, keluarkanlah zakat dan
ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” [Al Baqarah 40-43].
Allah juga berfirman (artinya), “Dan tidaklah mereka (ahlul kitab dan
musyrikin) diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah semata,
menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Demikianlah agama yang
lurus.” [Al Bayyinah 5].
Kedudukan Shalat
1. Shalat sebagai sebab seseorang ditolong oleh Allah. Hal ini karena
Allah sendiri berfirman (artinya), “ Wahai orang-orang yang beriman
mintalah pertolongan kepada Allah dengan kesabaran dan shalat” [Al
Baqarah 153]. Shalat bila ditunaikan sebagaimana mestinya niscaya akan
menyebabkan seseorang ditolong oleh Allah dalam setiap urusannya.
2. Shalat merupakan sebab seseorang tercegah dari kekejian dan
kemungkaran. Allah berfirman (artinya), “Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari perbuatan keji dan kemungkaran.” [Al Ankabuut 45]. Jika
shalat dikerjakan dengan semestinya pasti akan mencegah pelakunya dari
kekejian dan kemungkaran dengan ijin Allah.
3. Shalat merupakan salah satu rukun islam. [H.R Al bukhari 8 dan Muslim 16].
4. Shalat merupakan amalan yang pertama kali dihisab/ dihitung di hari
kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya),
“Sesungguhnya amalan seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari
kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka ia akan beruntung dan
selamat. Namun bila shalatnya jelek maka ia akan merugi dan celaka..”
[H.R At Tirmidzi 413 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani]. Yang
dimaksud shalat merupakan amalan pertama kali yang dihisab di hari
kiamat adalah shalat wajib, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi
Wasallam yang lain (artinya), “Sesungguhnya yang pertama kali dihisab
dari seorang muslim pada hari kiamat adalah shalat wajib…” [H.R ibnu
Majah 1425 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani]. Telah dimaklumi bahwa
shalat yang diwajibkan kepada kita adalah shalat 5 waktu (Zhuhur, ‘Ashr,
Maghib, Isya’ dan Subuh). Demikian pula shalat Jum’at bagi pria. Inilah
yang disepakati seluruh ulama.
5. Keutamaan shalat dapat dilihat dari awal perintah untuk
mengerjakannya yaitu diperintahkan langsung kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam tanpa melalui perantara Jibril “alaihis
Salaam, di tempat yang tertinggi yang pernah dicapai manusia yaitu
langit ketujuh, di malam yang paling utama bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wasallam yaitu malam Isra’ Mi’raj dan diwajibkan di setiap hari
sepanjang hidup seorang muslim.
Hukum Orang Yang Mengingkari Kewajiban Shalat
Barangsiapa mengingkari kewajiban shalat 5 waktu dan shalat Jum’at maka
ia kafir/ murtad. Hal ini disebabkan ia mendustakan Allah, rasulNya dan
kesepakatan kaum muslimin yang qath’i (tetap). Contoh mengingkari
kewajiban shalat tersebut adalah menganggap bahwa shalat itu sekedar
kebiasaan, sesuatu yang boleh atau tidak mengapa diinggalkan dan bila
dikerjakan berpahala, atau ragu tentang kewajibannya. Orang yang di
hatinya terdapat pengingkaran atau keraguan terhadap kewajiban shalat 5
waktu dan shalat jum’at maka ia kafir/ murtad sekalipun ia masih
mengerjakan shalat. Lalu mungkinkah seseorang mengerjakan shalat dalam
keadaan mengingkari atau meragukan kewajibannya? Jawabnya: Mungkin,
misal seseorang mengerjakan shalat karena hanya menganggap shalat itu
sekedar kebiasaan baik, hanya sekedar sunnah atau takut dicela orang
bila tidak mengerjakan shalat. Kalimat syahadat seseorang bisa batal
apabila setelah mengucapkan kalimat itu ia mengingkari atau meragukan
kewajiban shalat. Demikian pula sebanyak apapun syahadat yang dia
ucapkan maka hal itu tidak bermanfaat sama sekali tatkala ia masih
mengingkari atau meragukan kewajiban shalat.
Namun satu hal yang penting untuk kita pahami bahwa vonis pengkafiran
atau seseorang dianggap murtad (keluar dari Islam) karena mengingkari
atau meragukan kewajiban shalat- demikian pula perkara wajib yang lain-
itu bersifat umum. Adapun bila bersifat khusus- artinya vonis terhadap
individu tertentu- maka terlebih dahulu harus menempuh
ketentuan-ketentuan yang disebutkan para ulama dan di bawah bimbingan
mereka. Wallahu a’lam.
Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat
Sub judul ini dibagi menjadi 3 poin yaitu”
1. Apabila seseorang meninggalkan satu shalat saja misal Zhuhur tanpa
ada udzur syar’i (alasan yang dibenarkan syari’at) maka ia melakukan
dosa besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “ …. dan
janganlah engkau meninggalkan shalat wajib dengan sengaja. Barangsiapa
yang meninggalkan shalat wajib dengan sengaja maka telah lepas jaminan
(dari Allah) untuk orang tersebut…” [HR Ibnu Majah 4034 dan dihasankan
oleh Asy Syaikh Al Albani]. Orang yang meninggalkan satu shalat tanpa
udzur yang syar;i dinyatakan sebagai orang yang melkukan dosa besar
meskipun masih meyakini kewajibannya. Faktor yang mendorong dirinya
meninggalkan shalat adalah rasa malas, bukan pengingkaran atau keraguan.
Apabila yang mendorong dirinya meninggalkan shalat adalah pengingkaran/
keraguan maka ia tidak sekedar melakukan dosa besar bahkan ia telah
kafir/ murtad sebagimana yang telah lewat pembahasannya.
2. Bila seseorang kadangkala meninggalkan shalat dan kadangkala
mengerjakannya maka yang nampak –wallahu a’lam- ia tidak kafir/ murtad
namun tetap dinyatakan orang yang berbuat dosa besar/ orang fasik.
[Lihat penjelasan Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah sebagaimana
dalam Majmu’ Fatawa beliau 11/54, dinukil dari Fatawa Ulama’ Baladil
Haram hal 671].
3. Bila seseorang senantiasa meninggalkan shalat maka ia kafir/ murtad,
karena tidaklah mungkin seseorang yang berakal dan di hatinya ada
keimanan –walaupun sebesar biji sawi sekalipun- akan meninggalkan shalat
terus menerus, padahal ia tahu tentang kedudukan shalat dalam agama
Islam. Sehingga, terus menerus atau senantiasanya seseorang meninggalkan
shalat sudah merupakan tanda pengingkaran atau keraguan dia terhadap
kewajiban shalat. Namun vonis pengkafiran aatau seseorang dianggap
murtad di sini masih bersifat umum. Adapun bila bersifat khusus (vonis
terhadap individu tertentu) maka terlebih dahulu harus menempuh
ketentuan- ketentuan yang disebutkan para ulama dan di bawah bimbingan
mereka. Wallahu a’lamu bish shawaab.
Kewajiban Bertaubat Bagi Orang Yang Mengingkari Atau Meninggalkan Kewajiban Shalat
Allah Ta’ala berfirman (artinya):
“ Maka datanglah sesudah mereka (para nabi), pengganti (yang jelek) yang
menyia- nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka mereka
kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang- orang yang bertaubat,
beriman, dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk Al Jannah
(surga) dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun.” [Maryam 59-60]
Kewajiban Menyampaikan Nasehat Yang Baik Kepada Orang Yang Mengingkari Dan Meninggalkan Kewajiban Shalat.
Asy Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata: “…dan dari atas masing-
masing dua keadaan tadi (orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja
dan orang yang mengingkari kewajibannya -pen) maka wajib bagi pemerintah
kaum muslimin untuk meminta orang yang meninggalkan shalat untuk
bertaubat. Bila tidak bertaubat maka orang tersebut dibunuh karena
adanya dalil- dalil yang teriwayatkan tentang hal itu. Wajib untuk
mengisolasir orang yang meninggalkan shalat, memboikotnya, tidak
memenuhi undangannya sampai ia bertaubat kepada Allah. Bersamaan dengan
itu, waib pula untuk menasehatinya, mengajaknya kepada kebenaran dan
mengingatkan dari dampak yang timbul bagi orang yang meninggalkan shalat
baik dampak di dunia maupun di akherat. Semoga (dengan itu -pen) ia
bertaubat dan Allah menerima taubatnya.” [Kitab Ad Da’wah 1/ 93, dinukil
dari Fatawa Ulama’ Baladil Haram hal.665].
Kita Dituntut Untuk Menegakkan Shalat Bukan Sekedar Mengerjakan Shalat
Bila seseorang telah mengerjakan shalat maka belumlah dianggap cukup.
Dia masih dituntut untuk menegakkannya. Jika ia sekedar menggerakkan
anggota badannya untuk berdiri, takbir, membaca doa- doa shalat, ruku’,
sujud, duduk tanpa diiringi kekhusyu’an, thuma’ninah dan memahami maksud
gerakan dan doa- doa shalat maka ia teranggap sebagai orang yang
sekedar mengerjakan shalat. Dia masih dituntut untuk khusyu’’
thuma’ninah dan memahami maksud gerak dan doa- doa shalat. Dengan itu
ia dinilai sebagai orang yang menegakkan shalat.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (artinya) :
“Sungguh beruntunglah orang- orang yang beriman, (Yaitu) orang- orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” [Al Mu’minuun 1-2].
Ayat ini mengandung tuntutan untuk kita khusyu’ di dalam shalat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya):
“Sesungguhnya seseorang mengerjakan shalat selama 60 tahun. Namun
shalatnya tidak diterima. Dia menyempurnakan ruku’nya tapi tidak
mmenyempurnakan sujudnya. Dia menyempurnakan sujudnya namun tidak
menyempurnakan ruku’nya.” [Ash Shahihah 2535].
Sumber :https://assunnahmadiun.wordpress.com
Selasa, 01 Desember 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar