Ini satu permasalahan ketika haji atau umrah, yaitu ketika wudhu 
batal di tengah-tengah thawaf. Thawaf adalah mengelilingi Ka’bah 
sebanyak tujuh kali dan Ka’bah berada di sebelah kiri orang yang 
berthawaf. Di dalam thawaf berisi dzikir dan do’a, boleh pula diisi 
dengan membaca Al Qur’an. Perlu diketahui bahwa di musim haji, apalagi 
saat-saat puncak haji ketika thawaf ifadhoh (yang termasuk rukun haji),
 keadaan akan penuh sesak. Sehingga jika ada yang batal wudhunya di 
pertengahan thawaf, maka akan sulit keluar dari jalur. Lalu bagaimana 
mengenai masalah ini? Misalnya jika sudah mengitari thawaf sebanyak 
empat kali, lalu thawafnya batal, haruskah diulangi dari awal ataukah 
boleh dilanjutkan sisa tiga putaran yang ada?
Perlu diketahui bahwa thoharoh (harus bersuci) bukanlah syarat dalam ihram dan bukan pula syarat dalam amalan umrah atau haji lainnya selain thawaf
 (yang masih diperselisihkan). Ketika sa’i, melempar jumrah, mabit dan 
wukuf tidak disyaratkan untuk berthoharoh (dalam keadaan suci).
Menurut mayoritas ulama (baca: jumhur), orang yang berhadats (besar atau kecil) tidak boleh berthawaf mengelilingi Ka’bah. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ فَأَقِلُّوا مِنْ الْكَلَامِ
“Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun di dalamnya dibolehkan sedikit bicara.” (HR. An Nasai no. 2922)
Dalam hadits lainnya disebutkan,
الطَّوَافُ 
بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ إِلاَّ أَنَّ اللَّهَ أَحَلَّ فِيهِ الْمَنْطِقَ ، 
فَمَنْ نَطَقَ فِيهِ فَلاَ يَنْطِقْ إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun Allah masih membolehkan 
berbicara saat itu. Barangsiapa yang berbicara ketika thawaf, maka 
janganlah ia berkata selain berkata yang benar.” (HR. Ad Darimi no. 1847 dan Ibnu Hibban no. 3836).
Jika kita mengikuti pendapat jumhur ulama, maka barangsiapa yang 
batal wudhunya di tengah-tengah thawaf, wajib baginya mengulangi wudhu. 
Apakah thawafnya diulangi lagi dari awal (putaran pertama) atau boleh 
melanjutkan thawaf sebelumnya? Hal ini ada dua pendapat di antara para 
ulama. Kembali pada permasalahan apakah thoharoh merupakan syarat dalam 
thawaf tadi. Jika kita menyatakan bahwa thoharoh bukan syarat 
sebagaimana pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan diikuti oleh 
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahumallah, maka tidak ada masalah untuk melanjutkan thawaf.
Berbagai alasan yang mendukung thawaf tidak dipersyaratkan thoharoh
Pertama: Hadits yang menyatakan bahwa thawaf itu seperti shalat, tidaklah marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Hadits ini hanya mauquf (perkatan
 sahabat) sampai pada Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana hal ini dikuatkan oleh At
 Tirmidzi, Al Baihaqi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar dan selainnya (Lihat 
Shahih Fiqih Sunnah, 1: 144).
Kedua: Jika kita katakan hadits tersebut shahih, maka tidak 
selamanya kita katakan bahwa thawaf itu sama dengan shalat sehingga 
dipersyaratkan pula thoharoh sebagaimana shalat. Thawaf jauh berbeda 
dengan shalat. Di antara perbedaannya:
- Shalat disyaratkan berdiri, thawaf tidak disyaratkan demikian. Seandainya ada yang thawaf sambil merangkak, thawafnya sah.
 - Shalat disyaratkan takbiratul ihram, thawaf tidak demikian.
 - Shalat disyaratkan menghadap kiblat, sedangkan thawaf hanya disyaratkan Ka’bah berada di sebelah kiri.
 - Shalat diwajibkan membaca Al Fatihah, sedangkan thawaf hanya dianjurkan membaca Qur’an namun tidak disyaratkan mesti Al Fatihah.
 - Shalat diwajibkan ruku’ dan sujud, thawaf tidak demikian.
 - Shalat tidak dibolehkan makan dan minum, thawaf masih dibolehkan. (Syarhul Mumthi’, 7: 260)
 
Dalam Fathul Qadir dan Al Mabsuth disebutkan bahwa 
thawaf itu mirip shalat dalam sisi pahala, bukan dalam hal hukum. Karena
 berbicara dan berbicara dalam shalat itu membatalkan shalat, berbeda 
dengan thawaf (Lihat An Nawazil fil Hajj, 319).
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah 
mengatakan, “Yang benar, thawaf mengelilingi Ka’bah bukanlah seperti 
shalat. Thawaf adalah ibadah yang berdiri sendiri seperti halnya 
i’tikaf.” (Syarhul Mumthi’, 7: 261)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga mengatakan, “Inilah 
pendapat yang lebih menenangkan hati yaitu thawaf tidak dipersyaratkan 
thoharoh dari hadats kecil. Namun jika seseorang berthoharoh (dengan 
berwudhu’), maka itu lebih sempurna dan lebih mencontohi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan
 jangan sampai kita bermudah-mudahan menyelisihi pendapat jumhur ulama 
(mayoritas ulama). Akan tetapi, kadangkala, apalagi dalam kondisi 
darurat, kita memilih pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Seperti 
misalnya ketika dalam kondisi sangat padat. Jika kita mengharuskan untuk
 berwudhu ketika wudhunya batal, lalu ia balik ke tempat thawaf dalam 
keadaan padat jama’ah, lebih-lebih lagi jika thawafnya masih tersisa 
beberapa putaran saja, maka ini tentu jadi beban yang amat berat. 
Padahal kondisi sudah sulit seperti ini, namun kita masih berpegang 
dengan dalil yang tidak jelas. Jadi kami sarankan tidak perlu mewajibkan
 untuk thoharoh dalam kondisi demikian. Namun hendaklah mengambil sikap 
yang mudah dan toleran. Karena memaksa manusia padahal ada kesulitan 
saat itu justru malah bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185).” (Syarhul Mumthi’, 7: 262-263)
Jadi, langkah hati-hatinya adalah tetap berwudhu dan mengulangi wudhu
 jika batal saat melakukan thawaf selama tidak mengalami kesulitan. Jika
 sulit seperti kondisi yang penuh sesak saat thawaf, maka kita boleh 
ambil keringanan untuk terus melanjutkan thawaf kala wudhu batal.
Wanita Haidh Terhalang untuk Thawaf
Perlu dipahami terlebih dahulu:
- Para ulama sepakat bahwa thawaf asalnya adalah dengan berthoharoh (bersuci). Tidak boleh wanita haidh berthawaf padahal ia mampu nantinya berthawaf setelah ia suci.
 - Para ulama sepakat bahwa thawaf qudum (thowaf yang disyari’atkan bagi orang yang datang dari luar Makkah sebagai penghormatan kepada Baitullah Ka’bah) dan thawaf wada’ (thawaf ketika meninggalkan Makkah) tidak wajib bagi wanita haidh.
 - Para ulama sepakat bahwa wanita haidh dianjurkan untuk menunggu hingga suci ketika ia mendapati haidh sebelum melakukan thawaf ifadhoh. Ketika ia suci barulah ia melakukan thawaf dan boleh meninggalkan Makkah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 310-311).
 
Para ulama berselisih pendapat dalam hal jika wanita haidh harus 
meninggalkan Makkah dan belum melaksanakan thawaf ifadhoh (yang 
merupakan rukun haji) dan tidak bisa lagi kembali ke Makkah, apakah ia 
boleh thawaf dalam keadaan haidh? Apakah sah?
Yang tepat dalam kondisi wanita haidh seperti ini, bolehnya thawaf 
dalam keadaan haidh meskipun kita mensyaratkan mesti harus berthoharoh 
ketika thawaf. Di antara alasannya, jika thoharoh adalah syarat thowaf, 
maka kita analogikan (qiyaskan) seperti keadaan shalat. Syarat shalat 
jadi gugur jika dalam keadaan tidak mampu (‘ajez). Seperti kita
 dalam keadaan sakit dan tidak mampu berwudhu dan tayamum, maka tetap 
harus shalat meskipun dalam keadaan hadats. Hal ini sama pula dengan 
thawaf (Lihat An Nawazil fil Hajj, 311-312).
Sumber : www.rumaysho.com 






0 komentar:
Posting Komentar